Rabu, 9 April 2025 adalah hari yang tidak akan pernah saya lupakan. Hari itu merupakan hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang Ramadan dan Idulfitri. Suasana di sekolah masih dipenuhi semangat dan keceriaan karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan teman-teman. Namun, suasana itu seketika berubah menjadi panik ketika kami mendengar pengumuman tentang perubahan jadwal ujian praktik.
Awalnya, kami mengira ujian praktik pertama adalah Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Kamis, 10 April 2025. Kami sudah menyiapkan hafalan dan perlengkapan sholat jenazah seperti mukena untuk perempuan dan baju muslim untuk laki-laki. Tapi ternyata, mendadak ada pergantian jadwal—ujian praktik pertama justru PKWU, dengan materi praktik memasak.
Waktu yang tersisa hanya sekitar 19 jam. Saya dan teman-teman satu kelompok langsung sibuk menentukan menu, berbagi tugas, dan berburu bahan-bahan ke pasar di tengah hujan. Meski awalnya terasa repot, di tengah perjalanan saya sempat berpikir, “Repot-repot gini seru juga ya, kayanya gak bakal bisa lupain momen ini.”
Keesokan harinya, kami menjalani ujian praktik memasak di sekolah, bukan di rumah. Saya (Fitri) tergabung dalam kelompok yang terdiri dari Umi, Lutvia, Bian, Pahrijal, dan Vincent. Kami membagi tugas dengan cermat: Pahrijal menyiapkan ikan puyuh rebus dan mengupas bahan, Vincent menggoreng tahu tempe lalu ikan, Bian memotong bumbu, Lutvia memasak nasi, Umi mencacah bahan, dan saya sendiri menumis kangkung.
Karena kerja sama yang solid, kami selesai lebih cepat dari waktu yang ditentukan. Bahkan sebelum pukul 10.30, semua masakan sudah tersaji di piring. Saat sesi penilaian, Ibu Maya, guru kami, berkata sambil tersenyum, “Lumayan lah, masakannya udah cocok buat berumah tangga.” Kami pun tertawa bersama.
Momen itu menyadarkan saya bahwa ketidaksiapan bukanlah akhir dari segalanya. Justru di dalam keterbatasan waktu dan kondisi yang mendadak, kami belajar banyak: kerja sama tim, manajemen waktu, dan tanggung jawab. Prosesnya memang tidak mudah, tapi kenangan dan pelajarannya akan terus kami bawa.
Setelah ujian selesai, kami makan bersama dan beres-beres dengan hati lega. Namun, tantangan belum berakhir. Esok harinya, kami akan menghadapi ujian praktik seni—yang juga mendadak. Tapi itu cerita lain yang akan saya bagikan di lain waktu.
_
Penulis: Fitri Rahmadani